Jumat, 07 Mei 2010

Jarimah Riddah

JARIMAH MURTAD (RIDDAH)

A. PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR RIDDAH

1. Pengertian

Nash yang berkaitan dengan kemurtadan dalam Al-Qur’an adalah:

y`tBur ÷ŠÏs?ötƒ öNä3ZÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ ôMßJuŠsù uqèdur ֍Ïù%Ÿ2 y7Í´¯»s9'ré'sù ôMsÜÎ7ym óOßgè=»yJôãr& Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur ( y7Í´¯»s9'ré&ur Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $ygŠÏù šcrà$Î#»yz ÇËÊÐÈ

“Barangsiapa murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (Q.S. Al-Baqarah: 217).

Rasulullah SAW. bersabda:

من بدل د ينه فاقتلوه روالبخاري عن ابن عباس

“barangsiapa menggantikan agamanya, maka bunuhlah ia” (HR. Bukhari dari ibn Abas)

Arti riddah menurut bahasa adalah kembali. Menurut syara’ adalah keluar dari Islam.

2. Unsur-unsur Riddah

Unsur-unsur riddah adalah:

a. Keluar dari Islam

b. Ada itikad tidak baik.

Yang dimaksud dengan keluar dari Islam disebutkan oleh para ulama ada tiga macam:

a. Murtad dengan perbuatan atau meninggalkan perbuatan.

b. Murtad dengan ucapan.

c. Murtad dengan itikad.

Yang dimaksud murtad dengan perbuatan adalah melakukan perbuatan yang haram dengan menganggapnya tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggapnya sebagai perbuatan yang tidak wajib, baik dengan di sengaja maupun dengan menyepelekan. Misalnya sujud kepada matahari atau bulan, melemparkan Al-Qur’an dan berzina dengan menganggap zina itu bukan suatu perbuatan yang haram.

Murtad dengan ucapan adalah ucapan yang menunjukan kekafiran, seperti menyatakan bahwa Allah punya anak dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak dilarang.

Adapun murtad dengan itikad adalah itikad yang tidak sesuai dengan itikad (aqidah) Islam, seperti beritikad kekalnya alam, Allah itu sama dengan makhluk. Sesungguhnya itikad an sich tidak menyebabkan seorang menjadi kufur sebelum dibuktikan dalam bentuk ucapan atau perbuatan, berdasarkan hadits Rasulullah SAW.:

ان الله تجاوز عن امتى ماوسوست اوحدثت به انفسها مالم تعمل به او تكلم

"Sesunggunhnya Allah memaafkan bagi umatku bayangan-bayangan yang menggoda dan bergelora dalam jiwanya selama belum diamalkan atau dibicarakan". (HR Muslim dari Abu Hurairah)

Jadi, berdasarkan hadits diatas apapun itikad seseorang muslim yang bertentangan dengan ajaran Islam tidaklah dianggap menyebabkan keluarnya dari Islam sebelum ia mengucapkan atau mengamalkannya.

Adapun hukumannya nanti terserah kepada Allah. Diantara contohnya adalah sihir. Para ulama sepakat terhadap keharaman sihir dan mempelajarinya.[1]

Imam Syafi'i menambahkan syarat pada pidana riddah bahwa pelakunya itu harus berniat untuk melakukan kekufuran. Sesuai dengan hadits:

انما الاعمال با لنيات روه البخارى ومسلم عن عمر بن الخطا ب

"Sesungguhnya sahnya segala amal itu tergantung kepada niatnya". (HR Bukhari dan Muslim dari Umar ibn Khathab).

Jarimah riddah adalah meninggalkan pembenaran syari’at Islam yang dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: melakukan atau meninggalkan suata perbuatan; mengucapkan; dan berkeyakinan.[2]

Ketiga cara di atas akan dijelaskan dengan beberapa kaidah di bawah ini:

Kaidah Pertama:

Ø Tentang Meninggalkan Kewajiban

كل من امتنع عن اتيان فعل يوجبه الاسلام مع استحلال عدم اتيانه فهو راجع عن الاسلام[3]

“Setiap orang yang menolak melakukan perbuatan yang diwajibkan Islam kepadanya disertai dengan keyakinan halal meninggalkannya maka dia telah keluar dari Islam”.

Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang tidak menunaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh syari’at Islam dengan alasan bahwa perbuatan itu bukan wajib, maka ia dapat dikualifikasikan sebagai orang yang telah keluar dari Islam atau telah berbuat jarimah riddah. Misalnya, seseorang tidak mau melaksanakan shalat wajib dengan alasan bahwa shalat tersebut tidak wajib.

Kaidah ini menjadi sarana untuk membedakan antara jarimah riddah dengan jarimah lainnya. Sebab, pada perbuatan yang tampak lahirnya sama tetapi bisa jadi hukumnya berbeda. Orang yang tidak melaksanakan shalat wajib karena malas tidak dapat dikualifikasikan telah keluar dari Islam, melainkan telah fasiq atau ashy (pelaku maksiat). Perbuatan ini termasuk jarimah ta’zir.[4]

Hal ini didasarkan atas kebijakan Abu Bakar al-Shiddiq yang telah memerangi kaum yang menolak membayar zakat. Sebagian penduduk menolak kewajiban menyerahkan zakat dengan alas an bahwa kewajiban itu hanya berlaku kepada Rasulullah SAW saja. Abu Bakar mengangggap bahwa orang-orang yang menolak kewajiban menyerahkan zakat itu harus diperangi (dibunuh) karena telah keluar dari Islam.[5]

Kaidah Kedua:

Ø Tentang Melakukan Perbuatan yang Diharamakan

كل من اتى المحر مات مع استحلال اتيانها فهو راجع عن الاسلام[6]

“Setiap orang yang melakukan perbuatan yang diharamkan (Islam) disertai dengan keyakinan halal melakukannya, maka dia telah keluar dari Islam”.

Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang melanggar larangan-larangan syari’at Islam disertai dengan keyakinan bahwa hal tersebut tidak dilarang, maka ia telah keluar dari Islam. Misalnya, seorang berzina dengan keyakinan bahwa zina itu tidak haram maka ia telah keluar dari Islam. Apabila ia melakukannya karena melanggar keharaman diserta keyakinan bahwa perbuatan tersebut dilarang, ia tidak keluar dari Islam melainkan telah berbuat maksiat atau melakukan jarimah zina.

Penghalalan yang diharamkan, jika disertai alasan yang kuat (ta’wil) dan ketidaktahuan hukum yang sebenarnya, belum dapat dikualifikasikan telah keluar dari Islam.

Kidah Ketiga:

Ø Tentang Keyakinan yang Keluar dari Islam

يعتبر خروجا عن الاسلام كل اعتقادمناف للاسلام[7]

“Setiap keyakinan yang berlawanan dengan (aqidah) Islam menunjukan telah keluar dari Islam”.

Diantara contoh-contoh keyakinan yang bertentangan dengan Islam adalah keyakinan bahwa Al-Qur’an itu bukan dari Allah melainkan kata-kata Muhammad; Muhammad adalah pendusta; ada lagi Nabi yang terakhir setelah kenabian Muhammad; dan Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan. Akan tetapi keyakinan-keyakinan tersebut belum dapat dikualifikasikan jarimah riddah yang dikenai had jika belum dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Sebab Allah memaafkan umat-Nya dari apa yang dibisikan hatinya selama belum diungkapakan atau dikerjakan.[8]

B. SANKSI RIDDAH

Perbuatan riddah diancam dengan tiga macam hukuman: (a) hukuman pokok, (b) hukuman pengganti, (c) hukuman tambahan.

Hukuman pokok jarimah riddah adalah hukuman mati, sesuai dengan:

من بدل د ينه فاقتلوه روالبخاري عن ابن عباس

“Barang siapa menggantikan agamanya, maka bunuhlah ia” (HR. Bukhari dari ibn Abas).

Sebelum dilaksanakan hukuman, orang yang murtad itu harus diberi kesempatan untuk bertobat. Waktu yang disediakan baginya untuk bertobat itu adalah 3 hari 3 malam menurut Imam Malik. Menurut Imam Abu Hanifah, ketentuan batas waktu untuk bertobat itu harus diserahkan kepada Ulul Amri, dan batas itu selambat-lambatnya 3 hari 3 malam.

Tobatnya orang yang murtad cukup dengan mengucapkan dua “kalimah syahadah”. Selain itu, ia pun mengakui bahwa apa yang dilakuakannya ketika murtad bertentangan dengan agama Islam.[9]

Hukuman pengganti diberikan apabila hukuman pokok tidak dapat diterapkan. Hukuman pengganti itu berupa ta’zir.

Hukuman tambahan adalah merampas hartanya dan hilangnya terpidana untuk bertasharuf (mengelola) hartanya.

Namun demikian, pada intinya hukuman bagi orang yang murtad itu diserahkan kepada Allah kelak. [10]



[1] Prof. Dr. H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 1997, hal. 116

[2] Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, Hal. 160

[3] Ibid

[4] Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, Hal. 161

[5] Ibid

[6] Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, Hal. 162

[7] Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, Hal. 163

[8] Ibid

[9] Prof. Dr. H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 1997, hal. 117

[10] Prof. Dr. H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 1997, hal. 120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar